NABI MUSA DAN PENGGEMBALA
Nabi Musa a.s. adalah satu-satunya Nabi yang mendapat sebutan kalimullah. Yakni yang diajak berbicara langsung oleh Allah SWT. Nabi Musa a.s. juga sering disebut-sebut sebagai nabi yang sangat cerdas dan kuat secara fisik.
Suatu
hari Nabi Musa a.s. sedang berjalan menyusuri lembah di sebuah kaki
bukit. Nabi Musa a.s. sedang melakukan perjalanan menuju kota. Tapi
tiba-tiba beliau menghentikan langkahnya, karena mendengar seorang
pengembala. Orang itu telihat sedang asyik becakap-cakap. Nabi Musa a.s.
heran karena orang itu bercakap-cakap sendiri. Tapi, yang membuat Nabi
Musa a.s. lebih heran lagi, setelah beliau perhatikan si penggembala
terlihat sedang asyik bercakap-cakap dengan seseorang. Tapi siapa orang
yang diajak bicara?
“dimanakah
Engkau, agar aku bisa menjahitkan pakaian-Mu. Aku dapat menambal kaos
kaki-Mu. Aku bisa menyiapkan tempat tidur-Mu. Aku bisa menyemir
sepatu-Mu. Dan agar bisa membuatkan susu hangat buat-Mu,” ujar si penggembala.
Nabi Musa a.s. kemudian mendekati orang itu dan bertanya kepadanya, “siapa yang sedang engkau ajak berbicara?”
“Tuhan
yang menciptakan kita. Tuhan yang menciptakan bumi dan langit. Tuhan
yang menciptakan siang dan malam,“ jawab orang itu. Nabi Musa a.s.
terperengah kaget. Beliau konan berang. Lalu beliau serta-merta marah
dan berkata dengan suara tinggi, “Berani-beraninya engkau berkata dengan
Tuhan seperti itu! Engkau sungguh telah melecehkan Tuhan! Sumpal
ucapanmu. Dan jangan sekali-kali engkau berkata seperti itu lagi nanti
Tuhan mengutuk semua orang di muka bumi ini karena dosamu.” Demkian kata
Nabi Musa a.s.
Mendengar
ucapan Nabi Musa a.s. orang itu seperti tersambar geledek. Dia
terguncang dan hampir-hampir saja ambruk. Dia benar-benar ketakutan. Dia
tidak pernah berpikir kalau ucapan yang tulus dari bagian hatinya yang
paling dalam itu adalah sebuah penghinaan.
“Apakah kamu pikir Tuhan itu manusia? Sehingga butuh sepatu, pakaian, dan minum susu serta yang lainnya?”
Laki-laki
itu hanya bisa menyangga dirinya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa
lemas. Mulutnya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.
“Tidak! Tuhan itu Maha Sempurna. Dia tidak membutuhkan apa pun!” jelas Nabi Musa a.s.
Laki-laki itu hanya mematung.
Nabi
Musa kemudian meneruskan perjalanannya ke kota. Hati Nabi Musa a.s.
merasa telah berhasil meluruskan orang yang berbuat salah kepada Allah
SWT.
Setelah
ditinggal Nabi Musa a.s., laki-laki itu menangis dan memohon ampun
kepada Allah SWT. Dia pergi ke sebuah tempat yang sunyi dan terpencil di
kaki bukit. Dia menangis dan menangis. Dia begitu menyesali
perbuatannya. Perbuatan yang menurutnya lancang.
Setelah
beberapa hari melakukan perjalanan dan Nabi Musa a.s. belum tiba di
kota, Allah SWT menegur beliau, “Apa yang membuatmu harus mengusik
ketenangan-Ku? Engkau telah menyakiti orang yang mencintai dan setia
dengan-Ku.”
“Mengapa engkau pisahkan antara pecinta dan Yang Dicinta?”
“Apakah engkau lupa, kalau engkau diutus untuk menyatukan pencinta dan sang Kekasih? Bukan untuk menceraiberaikan!”
“Ingatlah,
sesungguhnya orang yang terikat sopan-santun itu sama sekali tidak sama
dengan orang yang diikat oleh cinta. Orang yang mencinta tidak
mengetahui agama kecuali sang Kekasih itu sendiri,” Allah SWT berpesan.
Nabi
Musa a.s. mendengarkan setiap kalam Allah SWT yang bernada teguran itu
dengan penuh takzim. Beliau barulah menyadari kesalahannya.
Musa
kemudian mencari orang yang ditemui di lembah. Nabi Musa a.s. begitu
ketakutan dengan apa yang menimpa orang itu. Nabi Musa a.s mencemaskan
kalau-kalau di mati bunuh diri karena perasaan bersalahnya. Nabi Musa
a.s. ingin meminta maaf atas kelancangan dirinya dan menyampaikan pesan
dari Allah SWT. Dan setelah pencarian yang lama, Nabi Musa a.s. berhasil
menemukan orang itu. Ketika beliau mendekati orang itu, nabi Musa a.s.
pun memohon maaf kepadanya. Orang itu kemudian menegakkan kepalanya
memandangi Nabi Musa a.s.
‘Aku
punya pesan penting untuk engkau,” kata Nabi Musa a.s. “Allah SWT telah
berpesan kepadaku bahwa engkau bebas untuk berbicara apa saja dengan
Tuhan-Mu. Tidak perlu lagi ada sopan santun. Engkau boleh berbicara apa
saja dengan cara yang engkau sukai.”
Nabi Musa a.s. kemudian mengambil nafas. Laki-laki itu hanya terdiam.
“Dan
aku minta maaf karena kebodohanku. Ternyata apa yang aku kira menghujat
itu akidah dan cinta adalah yang dapat menyelamatkan dunia,” lanjut
Nabi Musa a.s.
Tapi, Nabi Musa a.s. dibuatnya kaget. Kenapa? Orang itu katanya sudah berjanji kepada dirinya tidak akan berkata-kata apa pun.
“Aku
telah lampaui tahap kata-kata dan kalimat. Aku tidak ingin mengatakan
apa pun. Hatiku ini sudah tercerahkan. Aku tidak bisa mengatakan apa pun
tentang perasaan hatiku ini.”
Nabi
Musa a.s. hanya bisa terdiam mendengarkan ucapan orang itu. Orang itu
kemudian mengambil langkah dan meninggalkan Nabi Musa a.s. pandangan
Nabi Musa a.s. terus mengiringi setiap langkahnya hingga sosok orang itu
menghilang.
Penafsiran
Cerita diatas saya kutip dari Buku Seri Teladan Humor Sufistik, Karya Tasirun Sulaiman, Penerbit Erlangga, 2005.
Yang
menarik dari cerita diatas betapa seorang nabi seperti Musa yang
senantiasa berdialog dengan Tuhan terkadang bisa keliru memahami Bahasa
Hati seorang Pecinta Ilahi, bisa salah mengartikan keakraban seorang
yang dimabuk rindu dengan Tuhan.
Kalau
lah nabi Musa pernah keliru memaknai bahasa cinta para Pecinta Ilahi,
bagaimana dengan orang-orang zaman sekarang yang merasa dirinya alim
hanya dengan membaca, bukankah akan lebih sulit lagi memaknai bahasa
Para Pecinta? Bukankah lebih banyak lagi makian dan cacian yang
terlontar dari mulut mereka kepada Para Pecinta? Bukankah akan lebih
mudah lagi bagi mereka untuk menuduh Para Pecinta sebagai pembuatan
bid’ah dan memberikan stempel “Aliran Sesat” kepada keyakinan mereka?
Terkadang
sering kali kita merasa menjadi pembela agama, sehingga harus membentuk
sebuah front untuk mengganyang orang-orang yang berseberangan dengan
kita dengan dalih membela kebenaran, membela agama, padahal cuma membela
kelompoknya, membela dirinya sendiri. Terkadang juga banyak orang merasa
menjadi pembela Tuhan, padahal ketika berniat membela Tuhan secara
tidak langsung telah melenyapkan sifat Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha
Akbar dan mendudukkan Tuhan kepada posisi sebagai pesakitan dan tiada
berdaya. Alangkah damainya hidup ini kalau kita lebih banyak mengkoreksi
diri sendiri dari pada sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Saya
jadi teringat kata-kata bijak dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri,
“KEMBALI-LAH MENJADI DIRI, AGAR LEBIH BERARTI”. Salam Damai Selalu